“Thok-thek-thok-thek," suara mengalun yang dihasilkan pukulan kayu di sebuah perahu panjang yang sudah terlihat kusam. Suara nyanyian Jawa pun turut mengiringi hingga menambah larasnya harmonisasi antar keduanya.
Itulah gejog lesung, salah satu seni tradisional dari Yogyakarta. Seni yang merupakan bentuk ucapan syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Padi atas melimpahnya panen padi itu terancam punah. Dulu, lesung dipakai untuk memisahkan pada dari batangnya. Perkembangan zaman memang memudahkan manusia untuk mengolah padi dengan cepat. Menumbuk di dalam lesung sudah dinilai kurang efektif.
“Kalau sekarang ini, tradisi gejug lesung hanya dilakukan saat acara tertentu saja. Misalnya saja saat gerhana bulan tiba," kata salah seorang pelatih gejog lesung Rajio, 52 tahun, di Padukuhan Panggang, Desa Giriharjo, Gunungkidul. Selain saat gerhana bulan, tradisi ini masih dilakukan saat ada festival kesenian tradisional, bersih desa, atau lomba-lomba desa saja. Meskipun demikian, pria berkacamata itu menegaskan kalau tradisi gejog lesung ini tidak boleh dihilangkan.
Ciri khas dari kesenian ini adalah alu dan lesungnya. Alu adalah alat yang terbuat dari kayu untuk menumbuk, sedangkan lesung (berbentuk mirip perahu) digunakan untuk memisahkan padi dari tangkainya. Biasanya alu ini akan ditabuh oleh tujuh hingga delapan orang. Agar lebih menarik, tradisi ini sudah dipadu dengan nyanyian-nyanyian Jawa seperti Caping Gunung serta lagu panembrama. Biasanya pula ada penari yang melenggak-lenggok untuk mengiringi suara gejog lesungthok-thek-thok-thek.
Sumber : National Gegraphic Indonesia