Kompas/Ferganata Indra Riatmoko |
Boleh terus terjadi perubahan sosial dalam perjalanan sejarah manusia. Namun, keyakinan atau alam pikir religiusitas sebagai fondasi hidup bagi sebuah komunitas masyarakat, sepertinya tak mudah tergilas. Modernisasi yang pekat membawa pesan kapitalisme, boleh berkiprah sampai ke masyarakat akar rumput, tetapi ada sebuah benteng keteguhan di masyarakat, yaitu konsep hidup.
Pemikiran itu yang muncul selepas menyaksikan pementasan tari bejudul Laku Segara Gunung karya koreografer Hendro Martono, dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Dusun Suru, Desa Kemadang, dan Pantai Baron, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, DI Yogyakarta .
Tarian itu digelar di alam terbuka, mengisahkan tentang perubahan sosial kehidupan masyarakat Dusun Suru yang awalnya hidup sebagai petani, yang ingin mengembangkan perikehidupan perikanan dan pariwisata di Pantai Baron, yang letaknya hanya sekitar 3 kilometer dari dusun mereka. Ada dua pengadegan karya Hendro ini. Pertama, penggambaran keterpurukan masyarakat Dusun Suru saat hidup di dunia pertanian. Setting adegan ini menempati lahan pekarangan seorang warga sebagai pusat pementasan. Pengadegan kedua menggunakan setting Pantai Baron, yang mengisahkan Nyai Roro Kidul, menyambut kehadiran para petani yang ingin mengais hidup dari pantai selatan
Dalam tarian pertama digambarkan betapa tersiksanya Dewi Sri (dewi padi), dewi kemakmuran yang dianggap sebagai putri agung yang menjaga kesejahteraan hidup mereka. Dewi Sri seperti tak berdaya, tergempur oleh rusaknya lahan pertanian karena kemiskinan warga yang tak mampu lagi merawat lahan. Di balik itu para pemuda desa yang diharapkan mampu menyerap teknologi baru dalam pertanian justru tak peduli dan malah terseret oleh kehidupan modernisasi. Kondisi itu digambarkan lewat tokoh Dewi Sri yang dikeroyok oleh hama dan terjerat oleh jaring-jaring yang membuatnya tak berdaya.
Dalam tarian pertama ini Hendro memang ingin memotret secara keseluruhan dinamika masyarakat desa dalam menjalani hidup keseharian. Karena itu, karya ini lantas bisa dikatakan sebagai drama tari karena Hendro memasukkan unsur-unsur dialog. Ketika warga bingung berkisah tentang ketandusan tanahnya, ketika warga terjerat oleh praktik rentenir, ketika hidup gotong royong menghilang dari desa, semua digambarkan dalam dialog, yang intinya mempertegas gerak-gerak tari yang ditampilkan.
Sakral
Adegan kedua yang berlangsung di Pantai Baron terkesan megah sekaligus sakral. Dalam adegan inilah Hendro berhasil membangun imaji bagaimana sikap religius masyarakat dalam menjalani perpindahan dari hidup bertani ke kehidupan laut, dengan mengadakan sedekah laut. Kehadiran Nyi Roro Kidul digambarkan secara magis saat muncul dari laut. Berkostum serba hijau Nyi Roro Kidul berdiri di ujung depan kapal, diiringi para perempuan dayang yang berseragam putih-putih yang berjajar memenuhi perahu. Dengan mengibas-ibaskan kain biru yang berkibar-kibar tertiup angin laut, semakin menambah wibawa pemunculan Nyi Ratu Kidul.
Tidak ada kaidah pasti untuk menyebut sebagai mahakarya. Demikian juga untuk karya Hendro ini, tidak gampang disebut sebagai mahakarya. Namun, sedikitnya karya ini telah memberikan alternatif baru untuk sebuah repertoar pergelaran tari. Mengabaikan teknik pemanggungan, tetapi menggunakan alam terbuka sebagai ruang ekspresi, membedah jarak antara panggung dan penonton.
Didukung oleh sekitar 100 orang yang 75 persen berasal dari warga Dusun Suru, karya ini tercipta dalam proses pergumulan dengan waktu yang sangat panjang. Tidak main-main, selama 10 tahun Hendro melakukan penelitian di Dusun Suru, sampai akhirnya melahirkan karya ini.
”Saya ingin membuktikan bahwa sebuah gagasan itu tidak hanya berhenti dalam kertas-kertas karya intelektual. Artinya, tidak hanya mengagung-agungkan gagasan, tetapi harus mampu menyulap gagasan menjadi sebuah proses yang menghasilkan gaya dan kebaruan artistik,” kata Hendro Martono.
Karya tari ini memang wujud dari simpulan ilmiah, dari disertasi Hendro Martono yang berjudul Gunung Segoro: Perubahan Sosial dengan Pendekatan Koreografi Lingkungan untuk meraih gelar doktor. Gelaran tari karya Hendro itu juga menjadi saksi pertama sebagai sebuah peristiwa yang tak lazim: ujian ilmiah dengan langsung menggelar karya di alam terbuka, disaksikan bukan hanya promotornya, Prof Dr Sumandiyohadi Hadi dan Prof Sardono W Kusumo, tetapi juga digelar untuk dinilai para penguji dan disaksikan oleh masyarakat luas.
”Memang karya ini sekaligus untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa karya ilmiah itu benar-benar wujud nyata dari keseharian masyarakat,” kata St Sunardi, salah satu penguji karya tari itu.
sumber :kompas