Pancasila sebatas Dasar Negara
Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45.
Pada bagian akhir pidatonya, atas petunjuk seorang ahli bahasa, Ir Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai nama bagi rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang dikemukakannya. Tapi para pendiri Negara Republik Indonesia tak pernah memutuskan memberikan nama Pancasila bagi Dasar Negara Republik Indonesia.
Ide (gagasan) ini dipungut Ir Soekarno dari ajaran Ernest Renan, tto Bauer, a Baars, Gaandhi, Sun Yat Sen, Jean Jaaures, dan bukan dipungut dari Nagara kertagama, Sutasoma, Sriwijaya, Majapahit.
Pancasila mulai dikeramatkan
Pada masa Orde lama (1959-1965) Manipol dianggap sebagai pengamalan Pancasila. Sejak awal Orde Baru, Pancasila mulai dikeramatkan sebagai kekuatan sakti yang ampuh, semangat, jiwa, spirit yang tangguh.
Sebagai mithos, Pancasila diintrodusir sebagai Jiwa Bangsa Indonesia, sebagai Kepribadian bangsa Indonesia, sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia,sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, sebagaia Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia, sebagai Falsafah Hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia.
Ini merupakan hasil temuan Laboratorium Pancasila. Untuk sampai ke sini dikaitkan, diberikan acuan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Sang Saka Dwi Warna, Garuda, Palapa pada jaman Hindu-Budha, pada kejayaan nenek-moyang di jaman Maajapahit Siwa-Budha. Padahal masa/jaman kejayaan, keemasan majapahit adalah jaman feodal, jaman jahiliyah,jaman kesesatan, jaman syirik. Pancasila dikembangkan menjadi Pancakarsa. sejak tahun 1978 diperkenalkan bahwa Pancasila perlu dihayati dan diamalkan.
Ketua Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Dardji Darmodihardjo SH (yang waktu itu juga Rektor Universitas Brawijaya di Malang), dalam bukunya “Orientasi Singkat Pancasila”, terbitan tahun 1979 (LP UNBRA) mengemukakan bahwa istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman majaapahit pada abad XIV, yaitu terdapat di dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sotasoma karangan Tantular.
Pancasila Krena (Pancasila Sutasoma Tantular)
Dalam kakawin Sutasoma disebutkan terdapat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Mengaitkan Pancasila pada Tantular tampaknya terlalu dipaksakan. Pancasila Sutasoma Tantular yang disebut Pancasila Karena bukanlah mengenai dasar falsafah negara (rechts-ideologi), tetapi mengenai ajaran moral (kesusilaan) yang wajib diamalkan oleh Upasaba (Bhudayawan) agar tidak melakukan lima larangan, yaitu tidak melakukan kekerasan (ahimsa), mencuri, berjiwa dengki, berbohong, mabuk (minuman keras).
Meskipun berupaya mengaitkan pancasila pada Tantular, namun tidak ada keseriusan untuk tidak melakukan mo-limo, yaitu tidak melakukan madon/lacur/zina, maling/curi, main/judi, madat/narkotik,minum/miras/mabuk (TERBIT, 14 November 1996).
Sedangkan Bhinneka Tunggal Ikanya Sutoasoma Tantular bukanlah semboyan Persatuan, Kebangsaan (Nasionalisme), “E Pluribus Unum”,tetapi mengenai konsep religi Siwa-Budha, bahwa meskipun zat/wujudnya Siwa dan Budha berbeda, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai “Keesaan Yang Maha Kuasa” dalam bentuk Siwa-Budha.
Mirip ajaran Trinitas yang mengajarkan bahwa meskipun zat/wujudnya/manifestasinya tiga oknum, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai Satu di antara Tiga Tuhan, “Tsalatsu Tsalatsah”.
Pancasila menjadi Asas Tunggal
Sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep
Pancasila sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan berpolitik, berekonomi, sampai kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, berapa jumlah anak, bagaimana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.
Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa (Ketuhanan Yang maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau Nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dan dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Sosial). Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur, membina hati nurani masing-masing individu?
Pancasila dinyatakan sejalan Islam
Di kalangan yang bukan Islam, inilah jalan/jalur pembudayaannya,yaitu jalur/pendekatan sejarah (jaman Siwa-Budha). Di kalangan yang Islam, jalur pembudayaan yang ditempuh ialah jalur/pendekatan agama. Dikemukakan bahwa “di bawah bendera Pancasila, upaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh suasana dinamis”.
Bahwa “Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. Bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya”. “Bahkan hidup keagamaan umat Islam di Indonesia tamak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan ummat di bahagian tertentu dunia Islam”.
“Yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dilaksanakannya ajaran Islam dalam masyarakat”. “What is in a name ? That we called a rose. Shall by any other name Smell as sweet” ungkap Shaespeare. Bahwa “tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya) bagi persatuan bangsa dan perjuangan memaakmurkan bangsa”, karena “PANCASILA mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”.
“Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum Islam pada Islam, dan makin menguatkan ajran Islam bagi yang sudah Islam”. “Hendaknya kita ummat Islam Indonesia menerima negara Republik Indnesia ini sebagai sasaran akhir (sasaran final) dari aspirasi politik kita, dan bukan sekedar sarana antara atau batu loncatan ke arah sasaran yang lain”. Bahwa “adanya persamaan dan semangat AlQuran dengan Pancasila”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dulu, bahwa “AlQuran tidaklah mengandung segala-galanya”. Diintrodusir semboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan belakangan dilanjutkan dengan “Islam Yes, Negara Islam No”, dimantapkan dengan “Tak Ada Negara Islam” dalam AlQuran dan AsSunnah.
Tokoh Pembaharu Islam
Di antara yang arif menggunakan jalur ini adalah Munawir Syadzali (“Islam dan Tatanegara”), Harun Nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’I Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafi’i Anwar, Dawam Rahardjo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh pembaharu, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hal 73-74).
Teori politik Munawir Syadzali disanggah (disangkal, dibantah)Firdaus AN (ALMUSLIMUN 258, September 1991). Bagi Ideolog Mujahid adalah aneh bila ada yang berakidah Islam, tetapi berasas bukan Islam. Adalah aneh yang Islam lebih memilih yang bukan Islam, lebih tertarik kepada yang bukan Islam.
Sungguh tak etis seorang Muslim yang telah merenungkan AlQuran dengan
pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki, akan berujar dengan lantang “tidaklah cukup dengan AlQuran”, ‘tidaklah benar segalanya ada dalam AlQuran”. Adalah suatu penghinaan menuduh Islam tidak punya konsep tentang negara”, bahwa “selain AlQuran ada lagi yang tak diragukan (la raiba fihi)”.
Seandainya “PANCASILA itu mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”, seandainya “Pancasila itu adalah seakan dengan ajaran Islam”, mustahillah muncul debat antara pihak Islam dengan pihak Nasionalis (Kebangsaan), baik pada sidang BPUPPKI, maupun di sidang Konstituante, dan mustahil pula pembubaran Konstituante pilihan rakyat (PANJI MASYARAKAT 698, 11 Oktober 1991).
Nasionalis disusupkan ke dalam Islam
Dalam hubungan ini dibawa-bawa nama Ali Abdul Raziq, kelompok minoritas Najadah dari Khawarij, Mu’tazilah. Ali Abdul raziq (1888-1966) menggunakan jalur agama untuk mengesahkan, melegalkan nasionalisme. dalam bukunya “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam”, Ali Abdul Raziq melancarkan propaganda menentang adanya khilafah dan mengajak agar umat Islam mengambil sekularisme dan nasionalisme.
Untuk sampai ke sini disusunlah teori politik, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negara, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan antara Islam dengan masalah kekhilafahan.
Kekhilafahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul Raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi). Dalam kaitan ini, Ali Abdul Raziq mengutipkan Matius 22 “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
H Agus Salim termasuk di antara yang merasa keberatan dengan isu penegakkan kembali Khilafah Islamiyah. “Oeroesan Chalifah itoe semata-mata oeroesan negara, oeroesan kekoeasaan semata-mata” tulis Hadji A Salim (”Chalifah dan ‘Alam Islam”, PEDOMAN MASYARAKAT, Medan, hal 102-103).
Sekilas teori politik Ali Abdul Raziq mirip dengan teori politik Najadah dari Khawarij. Tetapi Najadah tidak mengingkari khilafah,sedangkan Ali Abdul raziq sama sekali menolak khilafah, menolak mengaitkan urusan negara (dunia) dengan Islam (diin). Tampaknya teori politik Ali Abdul Raziq ini dipasok/disupply oleh missionaris orientalis semisal Margolouth, Thomas Arnold.
Dhiya’ adDin ar Rais telah menyanggah (menyangkal, membantah) teori politik Margoliuth (“Teori Politik Islam”), Ali Abdul Raziq (“Islam dan Khilafah”). Sebelumnya yang menyanggah Al Abdul raziq adalah Muhamamd Syakir, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Bukhait, Muhammad alKhadr Husain.
Mengenyahkan kekhilafahan Islam
Sebenarnya Ali Abdul Raziq hadir-tampil di tengah-tengah bersemaraknya persekongkolan persekutuan Salib Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus khilafah Islam, menumpas gerakan pendukung khilafah.
Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharismatik dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropah, pewaris/pelanjut peradaban Laut Tengah/Mediteranian” berkembang dan dikembangkan.
Penganjur/pendiri nasionalisme modern di Turki adalah Ziya Gok Alp, professor sosiologi jebolan Istambul, yang dengn gigih berupaya membersihkan Islam dari Turki. Kemal Ataturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremansonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Prdamaian lausane, swiss yang ditanda tangani bulan Juli 1923 yang mnghapuskan sistim kapitulasi penguasaan daerah taklukan)di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam, tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.
Terwjudlah salah satu langkah yang diambil barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam.
Sebagai catatan : Sayyid Rasyid Ridha telah menyanggah kemal Attaturk dalam bukunya “Al Khilafah wal Islam al’Uzhm”.
Penyusupan nasionalisme di dunia Arab
Sejak pendudukan Napoleon (1798-1801) di Mesir terjadi perbenturan (persinggungan, pergeseran, pertarungan) antara barat Nasrani dan Timur Islam, baik mengenai pikiran dan kebudayaan maupun perbedaan kesosialan, serta juga buah hasil pengiriman missi-missi ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Yang paling berjasa menggarap Mesir adalah Lord Cromer (Sir Evelyn Baring), Konsul Jendral Inggeris (1884-1907), otaknya imperialis Inggeris di dunia Arab, yang memegang tampuk kekuasaan Mesir selama hamper 25 tahun. Nasionlisme di kalangan Arab bermula dirintis oleh dua sarjana Kristen, Nasif Yazeji (1800-1871) dan Butrus ustani (1819-1993) dengan motto “Cinta tanah air (patriotisme) sebagian dari iman”.
Gerakan nasionalisme Arab memperoleh dukungan terbesar di American University of Beirut yang didirikan oleh missionaries pada tahun 1866 dan yang semula dikenal dengan Syria Protestant College. Sarjana lulusan American Universty of Beirut ini disambut baik di Mesir, menyebarkan teori-teori dan buah pikiran orientalis guru mereka.
Pemuja nasionalisme
Di Barat, tokoh yang paling memuja paham nasionalisme serta patriotisme adalah Nicola Machiavelli (1469-1532) dengan karya tulisnya “Sang Pangeran”. dan yang menjadi penyebab meluasnya paham nasionalisme secular (yang berakar pada Helenisme Yunani) secara besar-besaran adalah penolakan yang dilakukan oleh para pemimpin Reformasi Protestan terhadap kekuasaan Paus dan bahasa latin.
Ini terjadi karena kekuasaan Paus, kekuasaan gereja sedemikian memuncak, berbuat semena-mena. Akibatnya muncul reaksi terhadap gereja. Muncullah ide pemisahan negara dari gereja. disebarkan pesan “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
Nasionalisme melanda Indonesia
Di mana-mana nasionalisme mempunyai sikap yang sama, sekuler dan anti
agama, mengagung-agungkan kejayaan nenek moyang. Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pemuda Hatta menegaskan bahwa “bukan Indonesia Merdeka di bawah kerajaan Majapahit yang kita idamkan” (“Ke Arah Indonesia Merdeka”). Nasionalisme itu di luar Islam. A Hassan menukilkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa “bukanlah dari kalangan Islam orang yang menyeru kepada kebangsaan, yang berpegang atas dasar kebangsaan, yang mati atas dasar kebangsaan” (“Islam dan Kebangsaan”) (Sayid Qutb : “Masyarakat Islam”, 1983:71).
Ketika masih berusia 24 tahun M Natsir (murid dan sekaligus sahabat A Hassan) dengan menggunakan nama A Muchlis dalam polemiknya dengan Ir Soekarno sudah menggugat paham nasionalisme dari sudut pandang Islam (“Tjinta Agama dan Tanah Air”, PANJI ISLAM, No.7, Th.VI, 13 Februari 1939, hal 137/4069-139/4071; “Persatoean Agama dan Negara”, idem No.27-28, Juli 1940)
Yang tak suka pemerintahan/negara diatur oleh Islam berupaya mengarang-ngarang teori politik bahwa tak ada kaitan antara pemerintahan/negara dan Islam. Mereka masih mengakui Islam, tapi lebih suka pemerintahan/negara diatur oleh bukan Islam. Dengan penolakan mereka terhadap Islam ini, apa lagi yang tersisa pada mereka dari Islam. Sama sekali tak ada. Islam itu telah keluar dari diri mereka.
“Akan muncul nanti yang keluar dari agama Islam bagaikan anak panah terlepas dari busurnya”.
Melenyapkan Islam dari ranah politik
Berbagai cara dan siasat untuk menghapus dan menghilangkan Islam dan jejak langkah Islam di Indonesia antara lain dengan melenyapkan partai-partai Islam secara perlahan (sistimatis) dari satu langkah kepada langkah yang lain. Kemudian berlanjut menyingkirkan Asas Islam. Padahal Asas Islam itu adalah rohnya organisasi Islam. Tanpa asas Islam itu organisasi atau partai Islam itu tidak ada artinya sama sekali, “bagai mayat yang tidak bernyawa lagi”.
Menghilangkan asas slam itu dari organisasi islam sama dengan membunuh organisasi atau partai itu secara halus. Demikian ungkap KH Firdaus AN (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, hal 32, 73-74).
Islam janganlah dipenggal-penggal. Terimalah Islam itu secara utuh (kaffah, totalitas) atau tinggalkan/tanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimensi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi,hukum, moral, ideology, iptek. Jangan cari-carI teori politik dalam AlQuran, Quran bukanlah buku teori politik. Carilah tuntunan Islam yang beraspek/berdimensi politik tentang tindakan aplikasi politik.
Yang ideal di Indonesia kini menurut KH Firdaus AN cukup memiliki dua buah partai politik, yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Dengan itu orang mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan.
Bagi siapa saja yang tidak setuju ideologi Islam, silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam.(“Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba yang Tidak Boleh Berulang Lagi Di Era Reformasi”, 1999:186-187).
sumber :Asrir Sutanmaradjo/eramuslim