PSSI, Nasibmu Kini

Siapa tak mengenal sepakbola, olahraga yang identik dengan kaum adam ini adalah satu-satunya olahraga yang paling populer di muka bumi, tak terkecuali Indonesia. Murah meriah begitu kata sebagian orang. "Kegilaan" para penggemar bola di negara tercinta ini bahkan telah terkenal di seluruh dunia, jauh melampaui kemasyhuran Tim Nasionalnya sendiri.

Salah satu faktor yang menjadi daya tarik banyaknya pesepak bola keturunan yang ingin bermain di Indonesia, bukanlah pada sistem persepakbolaan kita yang telah mapan. Namun lebih disebabkan ketertarikan mereka kepada suporter masing-masing tim yang ada, sehingga membikin semarak kompetisi yang berjalan. Seolah mereka menjelma menjadi idola yang menyaingi artis-artis Ibukota.

Jadi amat disayangkan jika "modal" yang amat berharga, yaitu "kesetiaan" para pecinta bola di Indonesia kepada olahraga yang mereka kagumi itu, disia-siakan. Apalagi oleh wadah persepakbolaan itu sendiri.

Bulutangkis pernah menjadi primadona di nusantara ketika kita mendominasi dan memenangkan berbagai kejuaraan dunia. Namun seiring meredupnya prestasi, meredup pula dukungan bagi olahraga bulutangkis. Namun tidak untuk sepakbola. Meski tak pernah menjadi jawara di tingkat dunia, sepakbola tetap menjadi idola.

Kalah atau menang, mereka tetap datang. Perkelahian di lapangan hijau antar pemain, antar suporter, wasit yang dipukuli, masalah suap sampai dengan "pertarungan" antara PSSI dengan Liga Primer Indonesia (LPI) pun, tidak membuat para penggila bola tanah air patah semangat untuk tetap mendukung perkembangan sepakbola tanah air.

Akar permasalahan yang membelit mandeknya kemajuan persepakbolaan nasional kita, tidak lain adalah sikap dari para pengurus PSSI yang otoriter. Menggunakan PSSI sebagai tunggangan politik mereka, dijadikan sapi perah untuk menarik keuntungan kelompok mereka. Mereka bagaikan penguasa di Mesir dan Tunisia yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan keluh kesah rakyatnya.

Pada 26 Maret mendatang, PSSI akan mengadakan Kongres Pemilihan Ketua Umum periode 2011-2015 di pulau Bali. Entah karena alasan apa, PSSI memindahkan lokasi acara tersebut, yang semula dijadwalkan tanggal 19 Maret di Pulai Bintan, kemudian pindah ke pulau Bali. Calon yang dimunculkan ke publik, di antaranya KSAD Jenderal George Toisutta, pengusaha Arifin Panigoro, Nirwan Bakrie, yang tak lain adalah adik dari pengusaha Aburizal Bakrie dan Nurdin Halid yang diklaim sudah mendapat dukungan dari para anggotanya meski resistensi kepada kepemimpinannya terus berlanjut. Kejutan terjadi pada pengumuman daftar calon ketua umum PSSI periode 2011-2015. Hasil tim verifikasi hanya meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie, sedangkan George Toisutta dan Arifin Panigoro tidak. Fair? Banyak yang menyangsikan. Bahkan setelah keputusan lolosnya Nurdin dan Nirwan menjadi sepasang kandidat ketua umum PSSI, gelombang demonstrasi yang mengatasnamakan suporter Indonesia turun ke jalan untuk menggulingkan Nurdin. Mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor PSSI di kawasan Gelora Bung Karno dan mendesak Nurdin Halid melepaskan kepemimpinan PSSI.

Unjuk rasa serupa juga terjadi di beberapa kota di Tanah Air. Mereka menilai PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin tidak memberikan prestasi dalam sepak bola Indonesia. Oleh karena itu, turunnya Nurdin dinilai sangat mendesak dan suporter mengharapkan adanya revolusi sepak bola nasional.

Berbagai kritikan dan demonstrasi yang kian menyudutkan Nurdin, ternyata di tanggapi serius oleh Menpora. Menpora  mendesak PSSI segera melakukan koreksi penyelenggaraan kongres 4 tahunan yang akan datang sesuai dengan semangat dan rekomendasi KSN, peraturan perundang undangan, serta ketentuan organisasi olahraga yang berlaku.

7 tahun menjadi orang nomor satu di PSSI, seolah belum cukup bagi Nurdin Halid untuk kemudian dengan sadar diri mundur dari dunia persepakbolaan Indonesia. Latar belakang Nurdin Halid mendapat sorotan. Ironisnya, Nurdin pernah memerintah PSSI dari balik jeruji penjara karena menjalani tiga jenis tindakan pidana yang berbeda-beda, mulai dari korupsi gula, distribusi minyak goreng, serta tuduhan pelanggaran impor beras; FIFA seolah-olah tutup mata.

Posisi Nurdin sebagai kader suatu partai besar jelas menimbulkan tanda tanya tentang penegakan semangat FIFA yang memisahkan campur tangan politik di dalam sepakbola. Jika dilihat sumber pendanaan kompetisi sepakbola Indonesia yang mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), tanda tanya itu jelas kian besar.

Masalah lain adalah pembenahan sistem selama PSSI diperintah Nurdin. Kompetisi model baru dengan nama Superliga Indonesia (ISL) digelar sejak 2008, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi. Lebih jelas lagi, tidak ada peningkatan kualitas yang signifikan. Prestasi klub-klub Indonesia di kancah Asia masih tetap memalukan.

Harapan masyarakat Indonesia pada kongres PSSI mendatang adalah, kongres berjalan fair dan bebas dari intervensi suatu kelompok atau partai dan urusan politik, sehingga bisa menghasilkan para figur yang memang layak dan capable untuk mengangkat prestasi persepakbolaan nasional kita. Dengan kata lain, kongres diharapkan bisa mengganti Ketua Umum PSSI saat ini, Nurdin Halid, yang sudah banyak mendapat tekanan keras dari pecinta sepakbola tanah air untuk lengser karena dinilai tidak mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap persepakbolaan tanah air.

Masyarakat Indonesia menginginkan  reformasi total, berharap pemerintah dalam hal ini Menpora, tidak hanya diam, harus ada intervensi pemerintah dan tidak ada ruang untuk money politics.

PSSI lah yang bisa menentukan kiblat sepak bola Indonesia. PSSI bisa menentukan kebijaksanaan lain, misalnya bikin kompetisi dan lain-lain. Harus ada evaluasi tentang prestasi yang telah dihasilkan pengurus yang seharusnya bertugas untuk membuat persepakbolaan Indonesia semakin baik. Namun justru hasilnya akhir-akhir ini bisa dilihat, begitu sangat mengecewakan.

Sepertinya PSSI sendiri tidak tahu apa masalah tim nasional kita. Memang tidak mudah untuk memulainya, karena permasalahannya di Indonesia sudah begitu rumit. Mungkin bisa dimulai dari hal kecil-kecil dulu, misalnya kita harus punya pemain-pemain yang lebih baik. Pemain berbakat, pemain muda berbakat, secara fisik mendukung, tinggi badannya misalnya. Kemudian kuat secara mental dan memiliki latar belakang sosial yang baik.

Seakan tidak memiliki kesempatan sela, sepakbola Indonesia dimarakkan juga oleh kontroversi. Upaya sekelompok klub yang digawangi pengusaha Arifin Panigoro untuk memperbaiki mutu kompetisi dengan nama LPI (Liga Premier Indonesia), ditentang keras oleh PSSI.

LPI menjanjikan model kompetisi profesional, dengan jadwal yang tidak berubah-ubah, skuad profesional penuh, serta pembagian pendapatan termasuk hak siar televisi yang menggiurkan. Hal ini malah mengundang kemurkaan PSSI. Pada perkembangannya, menyeret campur tangan FIFA dengan ancaman sanksi pengucilan di pentas sepakbola internasional bagi tim-tim yang mengikuti laga LPI.

Dalam suratnya, FIFA memberi mandat kepada PSSI untuk menghukum semua klub pembangkang. Sanksi dapat merembet kepada perangkat pertandingan serta para pemain yang terlibat di LPI.

PSSI memiliki segala kewenangan yang ada, seperti mandat dari FIFA dan satu-satunya otoritas sepakbola resmi yang mengelola sepakbola negeri ini. Tetapi, di tataran praktis, rezim PSSI saat ini tidak memiliki dukungan dari akar rumput. Dengan pindahnya tiga klub ISL ke LPI, terbukti PSSI tidak dapat menyediakan jawaban yang memuaskan terhadap penyelenggaraan kompetisi yang bersih dan profesional.

Atas masukan dan melalui PSSI, FIFA memperingatkan agar penyelenggaraan sepakbola di Indonesia sejalan dengan otoritas resmi yang berlaku. Hal itu ditegaskan dalam surat resmi FIFA kepada PSSI yang sempat diragukan keabsahannya. Surat tersebut membahas perkembangan terkini sepakbola Indonesia, yaitu digelarnya Liga Primer (LPI) yang dinilai sebagai sebuah pembangkangan terhadap otoritas.

Berita buruk tentang kualitas permainan tim nasional, seolah sudah menjadi hal yang biasa kita dengar setiap kali tim kebanggaan kita ikut berlaga di lapangan hijau dalam beberapa turnamen. Juara ISL 2008/09 Persipura Jayapura, dengan segala hormat, dibombardir lawan-lawannya di Liga Champions Asia 2010. Dalam enam pertandingan, Persipura kebobolan 29 kali atau rata-rata hampir lima gol setiap kali berlaga. Saat melawan wakil Cina, Changchun Yatai, Persipura dilibas sembilan gol tanpa balas meski mampu membalasnya di Jayapura.

Di tengah situasi stagnan, sepakbola internasional masih menganggap eksistensi Indonesia. Ketika FIFA menggelar World Cup Trophy Tour, Indonesia menjadi salah satu tempat persinggahan. Rombongan trofi Piala Dunia bahkan disambut Presiden SusiloBambangYudhoyono, Januari tahun lalu. Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah memperhatikan sepakbola nasional.

Ketika timnas Indonesia gagal menjuarai AFF Suzuki Cup pada Desember 2010, sorotan kembali mengarah pada PSSI. Di samping kekecewaan karena gagal menjuarai turnamen meski tim-tim lawan tampil dengan kualitas yang cenderung tidak kompetitif, publik juga kesal atas manajemen penyelenggaraan turnamen yang kacau balau - terutama masalah penjualan tiket.

FIFA memiliki regulasi yang ajeg dan harus dipatuhi tetapi sepertinya pengurus PSSI sekarang bukan orang yang tepat menjalankannya.

Sekedar mengendalikan sepakbola di negerinya saja tidak cukup bagi sebuah federasi nasional, tetapi juga harus memiliki visi mengembangkan sepakbola berjangka panjang. PSSI sudah terlalu lama mengenakan kosmetik untuk menutupi boroknya selama ini: kejujuran pengurus, sportivitas kompetisi, serta pemanfaatan dana negara yang tidak transparan.

Penyelenggaraan LPI seperti puncak dari segala masalah di tubuh PSSI. LPI sendiri sebenarnya masih punya segudang pertanyaan, antara lain apakah klub peserta bertahan hingga akhir kompetisi atau tidak ataupun apakah kompetisi menjawab kerinduan masyarakat Indonesia akan sebuah industri sepakbola yang maju dan profesional.

Jika ingin bersikap adil, FIFA dapat menggerakkan otoritasnya untuk mengusut pengelolaan sepakbola yang dilakukan PSSI. Bagaimana dengan masalah buruknya kualitas lapangan? Bagaimana dengan kualitas wasit yang memprihatinkan? Bagaimana dengan keterlambatan gaji pemain yang terjadi dari waktu ke waktu?

Jika LPI dianggap dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, pantaskah mereka dihukum? Mandat IFA salah sasaran. LPI sepatutnya diberikan kesempatan menyelenggarakan kompetisi profesional tanpa harus diganggu ancaman, kecuali ada pihak-pihak tertentu yang ingin menonjolkan kekuasaan ketimbang masalah prinsip.

Sepakbola Indonesia merupakan alat pemersatu. Di tengah kondisi masyarakat yang kian susah, kian muak melihat tontonan kasus korupsi, mafia hukum, yang bak cerita sinetron tak pernah ada endingnya seperti sekarang ini. Dan hiburan yang menjadi pelipur lara bagi masyarakat banyak adalah sepakbola, namun sepakbola yang bermutu tentunya. Dan PSSI, sejujurnya memang sudah dalam kondisi akut, menderita. Butuh solusi, revolusi dan resolusi. Semoga harapan masyarakat Indonesia untuk kemajuan sepak bola nasional tidak hanya menjadi harapan semu. Mari kita tunggu keajaiban....
sumber : kabarindonesia.com