MASIHKAH GURU NOMOR 1?

Ditilik dari asal usul katanya guru berasal dari bahasa Sansekerta ”guru” yang apabila diartikan secara harafiah adalah ”berat”. Merujuk arti harfiah dari kata ’guru’, tugas seorang guru memang tidaklah ringan sebab seorang guru selain teladan bagi muridnya juga teladan bagi masyarakat sekitarnya, sebagaimana ungkapan dalam bahasa Jawa ”guru” yang artinya ”digugu” dan ”ditiru”.

Menjadi seorang guru memang bukan pekerjaan yang gampang, dari tahun ke tahun guru semakin dituntut untuk profesional, dan tantangan yang dihadapi juga semakin sulit. Oleh karena itulah, melalui peringatan hari guru ini pemerintah meng­ajak semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan, khususnya guru, untuk meningkatkan profesionalisme, kesejahteraan, perlindungan, dan martabat guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Untuk membentuk guru yang profesional pemerintah telah memberi sebuah regulasi yang berupa UU No. 14 tahun 2005. Menurut peraturan tersebut seorang guru dituntut untuk memiliki berbagai kompetensi, paling tidak empat kompetensi: (1) kompetensi profesional; (2) kompetensi pedagogik; (3) kompetensi kepribadian; dan (4) kompetensi sosial.

Kompetensi kepribadian dan sosial merupakan alat bantu untuk mengukur martabat guru. Dalam kehidupan dunia yang semakin global dan persaingan yang ketat membuat orang semakin berpikir instan demi mengejar jati diri dan identitas, tidak jarang manusia-manusia modern ini hanya berpikir cepat untuk meraih semua keinginan sehingga mereka tidak segan untuk menempuh jalan pintas, kursi empuk, jabatan, titel, bahkan keilmuan pun tak jarang disergap melalui cara-cara yang tidak bermoral, suap, korupsi, KKN, dan berbagai cara praktis amoral lainnya. Dalam kondisi masyarakat yang sedemikian carut marut inilah guru dituntut untuk tetap istiqomah di jalur kejujuran dan moral serta melanggengkan petuah, petatih-petitih agar tidak hanya menjadi slogan moral yang kehilangan jiwa spritualnya.

Ditilik dari unsur kata, kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pemelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pemelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Keahlian mendidik merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru. Keahlian ini tidak akan bisa tergantikan oleh teknologi secanggih apapun karena mendidik merupakan kodrati insaniyah.

Sebagaimana dicatat dalam banyak buku dan peraturan bahwa mendidik adalah mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik untuk itu keahlian ini menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, mendidikan bukan sekadar penyiapan dan perancangan seperangkat program pemelajaran tetapi mendidik melibatkan aspek-aspek psikologis yang menyangkut perkembangan jiwa dan pengembangan potensi siswa. Tuntutan dan sekaligus tantangan guru berkaitan dengan keahlian ini adalah guru dituntut untuk dapat mengelola bukan saja kelas, tetapi juga emosi siswa. Guru harus mampu mengarahkan dan memotivasi siswa untuk mencapai kehidupan yang bermartabat.

Menengok sejenak ke belakang, pada masanya dulu guru dianggap sebagai ”mahadewa” yang serba tahu. Guru merupakan rujukan tempat bertanya segala hal, tidak saja oleh anak didiknya tetapi juga oleh masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, guru merupakan merupakan sumber informasi. Namun, peran guru tersebut kini telah digantikan oleh “anak buah” teknologi yang lebih canggih lewat media televisi dan internet masyarakat dapat mengakses informasi lebih cepat dan akurat. Oleh karena tuntutan inilah, guru harus selalu meng-update tidak saja kemampuan akademisnya tetapi juga pengetahuannya tentang perkembangan dunia.Berbicara tentang profesionalitas dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang, keduanya mempunyai peran penting yang komplementer.

Untuk menjadi guru yang profesional harus ada jaminan kesejahteraan bagi kehidupannya. Ini adalah suatu hal yang logis. Sebab, bagaimanapun profesionalitas harus ditopang dengan tingkat kesejahteraan dan memenuhi unsur well educated, well trained, well paid.

Di mata masyarakat, profesionalisme guru belum begitu diakui sebagaimana profesi lainnya seperti dokter atau pengacara. Ini terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri dalam bidang pendidikan yang tidak mempunyai konsep dan arah yang jelas serta berkesinambungan. Sampai saat ini, guru masih menjadi profesi yang terbuka sehinga seseorang yang tidak belajar ilmu pendidikan (pedagogis), asalkan mau mengajar dapat saja menjadi guru.

Banyak di antara guru yang tidak mencintai profesinya secara total dan tulus karena pada umumnya mereka memilih profesi guru sebagai pilihan kedua (baca: keterpaksaan) di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Hal ini pun telah disadari oleh pemerintah sebagaimana dalam amanat menteri pendidikan, yang dibacakan oleh pemimpin upacara bahwa ”sejak dulu pemerintah menyadari bahwa tidak mudah mendapatkan guru yang profesional.”

Untuk mempersembahkan pendidikan bermutu bagi bangsa ini memang bukanlah pekerjaan yang ringan, perlu komitmen dan kerja sama semua pihak. Sebagai sebuah refleksi patutlah untuk dipertanyakan masihkah guru menjadi orang nomor satu yang memerdekakan generasi Indonesia dari belenggu kebodohan, dan kenistaan ditengah tuntutan yang juga semakin berat?